![]() |
| Nett: Muflihun (Istimewa) |
CARLA, PEKANBARU – Gugatan perdata senilai Rp25 miliar yang diajukan mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Riau, Muflihun, terhadap 12 pegawai Sekretariat DPRD Riau memantik reaksi keras dari publik dan kalangan hukum. Gugatan nomor 307/Pdt.G/2025/PN Pbr itu dinilai sebagai langkah yang tidak lazim, bahkan dianggap sebagian pihak sebagai upaya mengalihkan isu di tengah penyidikan dugaan Korupsi SPPD fiktif yang menjerat mantan pejabat tersebut.
Dalam gugatannya, para pegawai dituntut membayar kerugian Rp25 miliar dan diwajibkan meminta maaf secara terbuka melalui media nasional dan lokal. Muflihun menuduh mereka mencantumkan nama atau tanda tangannya tanpa izin pada dokumen perjalanan dinas tahun 2020–2021.
Namun gugatan ini justru memunculkan pertanyaan baru: apakah ini pembelaan, atau strategi?
Publik Nilai Gugatan “Tidak Masuk Akal” dan Berpotensi Cuci Tangan
Di tengah memanasnya perhatian publik terhadap kasus korupsi SPPD fiktif, sejumlah kalangan menilai gugatan ini sebagai tindakan berlebihan.
Seolah-olah tanggung jawab administratif dipindahkan ke bawahan, ujar seorang sumber internal DPRD Riau, Rabu, (5/11/2025).
Ketika dimintai komentar, Muflihun memilih diam.
Langsung ke lawyer ya, katanya singkat.
Kuasa Hukum Membantah: “Ini Demi Kepastian Hukum”
Kuasa hukum Muflihun, Ahmad Yusuf, menegaskan gugatan ini diajukan untuk menguji kebenaran dokumen yang dianggap tidak sah.
Tidak benar semua dokumen pencairan ditandatangani beliau (Mflihun,red). Kami sedang menguji keabsahannya di pengadilan, tegasnya, Jum’at (21/11/2025) malam.
Investigasi Carla.co.id: Pegawai Sebut Prosedur Tidak Bisa Dimanipulasi
Penelusuran Carla.co.id mendapati, para pegawai yang digugat justru dijadikan korban.
Pencairan dana di Bank Riau Kepri (BRK) tidak mungkin diproses tanpa tanda tangan Sekwan. Itu prosedur wajib, tidak bisa diganti-ganti,” ujar salah satu pegawai.
Pernyataan ini mengarah pada satu titik persoalan
Jika dokumen pencairan tidak bisa dilakukan tanpa tanda tangan pejabat utama, bagaimana mungkin pegawai dianggap mencantumkan tanda tangan tanpa seizin Muflihun?.
Dokumen dugaan korupsi dan SPPD fiktif ini semua atas perintah Muflihun yang membuat keuangan negara di rugikan mencapai ratusan miliar.
Praktisi Hukum: Ada Indikasi Mencari Pembenaran Pasca Praperadilan
Praktisi hukum Firman Laia, S.H., menilai gugatan ini dapat dibaca sebagai langkah defensif.
Setelah menang praperadilan, kini menggugat bawahannya. Secara hukum sah, tetapi manuver ini memberi kesan ingin mengatur narasi. Polda tidak boleh berdiam diri, tegas Firman, Sabtu, (22/11/2025) Sore.
Polda Masih Bungkam, Publik Menunggu Kejelasan
Upaya konfirmasi terhadap Kabid Humas Polda Riau, Kombes Anom Karibianto, tidak membuahkan jawaban.
Sementara itu, penyidikan terus berjalan dan penyidik telah memeriksa sejumlah saksi serta menyita aset milik Muflihun yang diduga bagian dari dugaan aliran korupsi dana SPPD fiktif.
Sorotan Baru: Penyerahan Barang Mewah dari Sejumlah Wanita Cantik:
Dalam rangkaian pemeriksaan saksi-saksi, Carla.co.id memperoleh informasi bahwa sejumlah wanita, termasuk tenaga honorer dan mahasiswi cantik yang bekerja di lingkungan DPRD Riau, menyerahkan barang-barang bermerek kepada penyidik. Barang-barang tersebut disebut berasal dari pemberian Muflihun.
Meski motif pemberian barang mewah itu belum bisa dipastikan, fakta bahwa barang-barang bernilai tinggi itu muncul bersamaan dengan penyitaan aset Muflihun, membuat publik bertanya:
- Apakah barang tersebut terkait dengan aliran korupsi yang sedang diusut?
- Apakah pemberian itu dilakukan menggunakan anggaran yang kini dipersoalkan?
- Dan mengapa beberapa penerima adalah individu non-struktural yang tidak berkaitan langsung dengan proses administrasi?
Penyidik belum memberikan keterangan resmi mengenai apa hubungan para wanita cantik itu dengan Muflihun, namun sumber menyebutkan bahwa aliran korupsi itu kini tidak lagi sebatas dokumen, melainkan menyentuh pola pemberian dan gaya hidup pribadi
Muflihun Sambangi KPK
Dilansir Tribun Pekanbaru, Selasa, 24 Juni 2025, mantan Sekretaris DPRD Riau, Muflihun, mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (23/6/2025). Kedatangannya terkait dugaan praktik korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif yang disebut terjadi di lingkungan Sekretariat DPRD Riau pada tahun anggaran 2020–2021.
Muflihun hadir didampingi kuasa hukumnya, Ahmad Yusuf, yang menegaskan bahwa kliennya datang bukan sebagai terperiksa, melainkan untuk menyampaikan komitmennya menjadi whistleblower atas dugaan penyimpangan anggaran di institusi tempatnya pernah bertugas.
Kehadiran klien kami di KPK adalah wujud komitmen untuk membuka fakta apa adanya. Beliau ingin memberikan keterangan secara utuh mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan kantor legislatif Bumi Lancang Kuning, ujar Ahmad Yusuf setelah pertemuan.
Singgung Framing ‘Tidak Sendiri’
Ahmad Yusuf menilai pemberitaan selama ini berpotensi menimbulkan kesan bahwa Muflihun merupakan pihak yang paling disorot dalam kasus dugaan SPPD fiktif tersebut. Ia menyebut perlu adanya klarifikasi langsung kepada penegak hukum agar proses penanganan perkara berjalan objektif.
Sejak Juni 2024 hingga beberapa bulan terakhir, pemberitaan di berbagai media seakan menempatkan klien kami sebagai pelaku tunggal. Itu sebabnya beliau memilih datang langsung ke KPK untuk menjelaskan duduk persoalan secara menyeluruh, tegasnya.
Menurut Ahmad, Muflihun siap memberikan informasi mengenai alur administrasi, mekanisme pengambilan keputusan, hingga pihak-pihak lain yang memiliki peran dalam proses SPPD di Sekretariat DPRD Riau.
Dorong Proses Penegakan Hukum yang Lebih Komprehensif
Dalam kunjungan tersebut, tim kuasa hukum menyerahkan sejumlah dokumen pendukung yang disebut relevan dengan penyelidikan. Ahmad Yusuf menyatakan bahwa data-data itu diharapkan membuka ruang bagi penyidik untuk menelusuri dugaan keterlibatan pihak lain.
Jika ingin perkara ini terang benderang, maka seluruh pihak yang terlibat dalam proses anggaran harus diperiksa. Klien kami siap bekerja sama penuh, ujarnya.
Kesimpulan Redaksi: Gugatan Rp25 Miliar Ini Tidak Berdiri Sendiri
Dilihat dari rangkaian kejadian: penyitaan aset, pemeriksaan saksi, penyerahan barang mewah, hingga gugatan terhadap 12 pegawai.
Kasus ini bukan sekadar soal tanda tangan. Ini adalah kisah tentang pertarungan narasi, perebutan persepsi publik, dan upaya saling mendorong tanggung jawab hukum.
Selama Polda Riau belum bersuara, ruang spekulasi akan terus melebar. Dan publik berhak menuntut kejelasan, transparansi, serta penegakan hukum yang adil tanpa kompromi.***
Penulis : Os & BL
Editor : Messy
